TUGAS MATA KULIAH
BIOMANAJEMEN
Dosen Pengampu: Dr. H. SOFYAN H.
NUR M.S
Disusun
Oleh :
Eko Puryanto
NIM. 20161310037
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
SEKOLAH
PASCA SARJANA
UNIVERSITAS
KUNINGAN
2017
KATA PENGANTAR
Puji serta
syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan kepada kita
hidayah dan inayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah mengenai “Strategi
dan kebijakan pengembangan Ekowisata di Pantai Karangsong Indramayu” Tanpa-Nya
lah laporan makalah ini tidak akan pernah ada, melainkan hanya sebuah pikir
belaka yang tak dapat terealisasikan.
Laporan
makalah ini dibuat bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur mata
kuliah “Bio Manajemen”. Dengan membaca
laporan makalah ini para pemakalah
dapat mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh, dan para pembaca dapat
mengetahui nya.
Ucapan
terimakasih kami ucapkan kepada dosen kami dan teman-teman yang telah membantu
proses pembuatan laporan makalah
ini. Kami menyadari bahwa dalam laporan
makalah ini masih terdapat banyak kekurangan oleh karena itu kepada para
pembaca, kami mengharapkan saran dan kritik untuk pembuatan laporan makalah selanjutnya.
Semoga laporan makalah ini benar-benar dapat
bermanfaat bagi para pembaca.Amin ya robbal’alamin.
Kuningan, Mei 2017
Penyusun
STUDI POTENSI HUTAN MANGROVE SEBAGAI EKOWISATA
BERBASIS EDUKASI, KONSERVASI, DAN ESTETIKA DI INDONESIA
Oleh:
Kelompok 8
ABSTRAK
Indonesia merupakan salah satu negara
yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia mencapai 25 % dari total luas hutan mangrove di seluruh dunia
(18 juta hektar) yaitu seluas 4,5 juta hektar atau sebanyak 3,8 % dari total
luas hutan di Indonesia secara keseluruhan. Hal tersebutlah yang mendorong kawasan mangrove untuk
dimanfaatkan sebagai ekowisata. Ekowisata merupakan
perjalanan wisata ke suatu lingkungan, baik alam yang alami maupun buatan serta
budaya yang ada yang bersifat informatif dan partisipatif yang bertujuan untuk
menjamin kelestarian alam dan sosial-budaya.
Metode yang digunakan adalah studi literatur. Hutan mangrove dapat dijadikan
ekowisata apabila memenuhi kriteria
penilaian seperti ketebalan dan kerapatan pohon, jenis flora atau fauna
mangrove, dan kisaran pasang surut. Diketahui area ekowisata hutan
mangrove yang telah dikembangkan di Indonesia, di antaranya Wisata Anyar
Mangrove (WAM) dan Ekowisata Mangrove Wonorejo, Wisata Mangrove Probolinggo,
Taman Wisata Alam Angke Kapuk, Mangrove
Forest Bali, dan lainnya. Produk-produk yang ditawarkan ekowisata hutan
mangrove dapat beragam tergantung
pada lokasi dan keadaan hutan mangrove yang akan dijadikan area ekowisata serta
memiliki nilai edukasi, konservasi, dan estetika bagi wisatawan.
(Kata
Kunci: Hutan Mangrove, Ekowisata)
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
ABSTRAK
..................……………………………………......................... i
DAFTAR ISI
……………………………………………........................… ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................
1
1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2 Maksud dan Tujuan ...................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
.................................................................. 3
2.1 Ekowisata …….............................................................................. 3
2.2 Hutan Mangrove ........................................................................... 5
2.3 Ekowisata Hutan Mangrove .......................................................... 7
BAB III PEMBAHASAN
............................................................................ 9
3.1 Studi Potensi Hutan Mangrove sebagai
Ekowisata ...................... 9
3.2 Ekowisata Hutan Mangrove di Karangsong
Indramayu ………. 12
BAB IV KESIMPULAN
............................................................................. 27
DAFTAR
PUSTAKA …………………………………….......................... 28
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pola hidup kembali
ke alam (back to nature) telah mendorong masyarakat untuk melakukan
perjalanan ke daerah-daerah alami, serta memiliki sejumlah besar potensi
sumberdaya yang bernilai. Pola perjalanan ini telah mendorong berkembangnya
paradigma baru dalam pariwisata berbasis alam atau dikenal dengan ekowisata
yang merupakan bentuk pariwisata yang dikelola dengan pendekatan konservasi.
Konsep ekowisata merupakan pariwisata yang memadukan antara kegiatan konservasi
alam, pendidikan, rekreasi, dan kegiatan perekonomian masyarakat lokal.
Wilayah
pantai dan pesisir mempunyai sifat atau ciri yang unik, merupakan wilayah
peralihan antara ekosistem darat dan laut; mengandung kekayaan sumberdaya alam
yang beragam seperti ekosistem hutan mangrove. Ekosistem hutan mangrove
memiliki fungsi yang sangat penting secara ekologi dan ekonomi, baik untuk
masyarakat lokal, regional, nasional maupun global. Menurut Kusmana et al. (2003) dalam Fahriansyah dan Dessy
(2012), ekosistem hutan mangrove yaitu suatu sistem yang terdiri atas
berbagai organisme (seperti tumbuhan dan hewan), berinteraksi dengan faktor
lingkungan dan dengan sesamanya dalam habitat mangrove.
Indonesia merupakan salah satu negara yang
memiliki hutan mangrove terluas di dunia mencapai 25 % dari total luas hutan
mangrove di seluruh dunia (18 juta hektar) yaitu seluas 4,5 juta hektar atau
sebanyak 3,8 % dari total luas hutan di Indonesia secara keseluruhan.
Sedikitnya luas hutan mangrove ini mengakibatkan perhatian Pemerintah Indonesia
terhadap hutan mangrove sangat sedikit jika dibandingkan dengan hutan darat.
Kondisi hutan mangrove juga mengalami kerusakan yang hampir sama dengan keadaan
hutan-hutan lainnya di Indonesia (Mangrove Information Center, 2006 dalam Sudiarta, 2006).
Sektor
pariwisata pesisir perlu mendapat perhatian dan dikembangkan untuk meningkatkan
pendapatan daerah, termasuk mempertahankan keberadaan hutan mangrove dari
pengikisan dan kepunahan. Pembangunan ekowisata berperan untuk konservasi
sumberdaya alam dan membantu masyarakat lokal dalam memenuhi kesejahteraan
hidup. Pembangunan ekowisata memberikan perubahan terhadap kualitas hidup,
struktur sosio-ekonomi, dan organisasi sosial dalam masyarakat lokal. Menurut
Pender dan Sharpley (2005) dalam Fahriansyah dan Dessy (2012), masyarakat
lokal dapat memutuskan jika masyarakat ingin atau tidak ingin untuk terlibat
dalam pembangunan pariwisata. Masyarakat lokal yang terlibat dalam pengelolaan
ekowisata adalah dengan cara menyediakan berbagai fasilitas untuk wisatawan,
meningkatkan jumlah wisatawan, dan mengendalikan dampak terhadap lingkungan
hidup. Oleh sebab itu, penataan dan perencanaan yang baik sangat diperlukan
untuk mengatasi keterbatasan sumberdaya alam hutan mangrove di perairan suatu
pantai.
1.2
Maksud dan Tujuan
Maksud
dari penyusunan makalah
ini adalah untuk memberi informasi mengenai peranan biologi dalam bidang
pariwisata, khususnya hutan mangrove. Sedangkan tujuan makalah ini adalah
sebagai berikut: (1) untuk mengetahui potensi dan fasilitas pendukung di berbagai
kawasan objek ekowisata hutan mangrove Karangsong Indramayu, (2) untuk
mengetahui ekowisata hutan mangrove yang telah dikembangkan di Karangsong
Indramayu, dan (3) untuk mengetahui produk-produk ekowisata yang ditawarkan di
objek ekowisata hutan mangrove Karangsong Indramayu.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekowisata
Ekowisata
merupakan perjalanan wisata ke suatu lingkungan, baik alam yang alami maupun
buatan serta budaya yang ada yang bersifat informatif dan partisipatif yang
bertujuan untuk menjamin kelestarian alam dan sosial-budaya. Ekowisata
menitikberatkan pada tiga hal utama yaitu keberlangsungan alam atau ekologi,
memberikan manfaat ekonomi, dan secara psikologi dapat diterima dalam kehidupan
sosial masyarakat. Jadi, kegiatan ekowisata secara langsung memberi akses
kepada semua orang untuk melihat, mengetahui, dan menikmati pengalaman alam,
intelektual dan budaya masyarakat lokal (Khan, 2003 dalam Sudiarta, 2006). Ekowisata memberikan kesempatan bagi para
wisatawan untuk menikmati keindahan alam dan budaya untuk mempelajari lebih
jauh tentang pantingnya berbagai ragam mahluk hidup yang ada di dalamnya dan
budaya lokal yang berkembang di kawasan tersebut. Kegiatan ekowisata dapat
meningkatkan pendapatan untuk pelestarian alam yang dijadikan sebagai obyek
wisata ekowisata dan menghasilkan keuntungan ekonomi bagi kehidupan masyarakat
setempat.
Kesuksesan
pengembangan ekowisata sangat ditentukan oleh peran dari masing-masing pelaku
ekowisata yaitu industri pariwisata, wisatawan, masyarakat lokal, pemerintah
dan instansi non-pemerintah, dan akademisi. Pembangunan ekowisata yang
berkelanjutan dapat berhasil apabila karakter atau peran yang dimiliki oleh
masing-masing pelaku ekowisata dimainkan sesuai dengan perannya, bekerjasama
secara holistik di antara para stakeholders, memperdalam pengertian dan
kesadaran terhadap pelestarian alam, dan menjamin keberlanjutan kegiatan
ekowisata tersebut. Dalam mendukung kesuksesan pengembangan ekowisata maka para
pelaku ekowisata harus mempunyai peran dan karakter tersendiri yaitu (France,
1997 dalam Sudiarta, 2006):
1. industri pariwisata yang mengoperasikan
ekowisata merupakan industri pariwisata yang peduli terhadap pentingnya
pelestarian alam dan keberlanjutan pariwisata dan mempromosikan serta menjual
program wisata yang berhubungan dengan flora, fauna, dan alam;
2. wisatawannya merupakan wisatawan yang
peduli terhadap lingkungan;
3. masyarakat lokal dilibatkan dalam
perencanaan, penerapan dan pengawasan pembangunan, dan pengevaluasian
pembangunan;
4. pemerintah berperan dalam pembuatan
peraturan-peraturan yang mengatur tentang pembangunan fasilitas ekowisata agar
tidak terjadi eksploitasi terhadap lingkungan yang berlebihan;
5. akademisi bertugas untuk mengkaji tentang
pengertian ekowisata dan mengadakan penelitian untuk menguji apakah
prinsip-prinsip
yang dituangkan dalam pengertian ekowisata sudah diterapkan dalam prakteknya.
Pengembangan obyek ekowisata harus selalu berpedoman pada
prinsip-prinsip ekowisata dan pariwisata berkelanjutan agar tercapai tujuan
pengembangan ekowisata yakni ekowisata yang berkelanjutan (sutainable
ecotourism). Menurut Wood (2002) dalam
Sudiarta (2006), prinsip-prinsip dasar pengembangan ekowisata adalah sebagai
berikut :
1.
meminimalisasi
dampak-dampak negatif terhadap alam dan budaya yang dapat merusak destinasi
ekowisata;
2.
mendidik
wisatawan terhadap pentingnya pelestarian (conservation) alam dan
budaya;
3.
mengutamakan
pada kepentingan bisnis yang peduli lingkungan yang bekerjasama dengan pihak
berwenang dan masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan lokal dan
mendapatkan keuntungan untuk konservasi;
4.
menghasilkan
pendapatan yang dipergunakan untuk pelestarian dan pengelolaan lingkungan dan
daerah-daerah yang dilindungi;
5.
mengutamakan
kebutuhan zonasi pariwisata daerah dan perencanaan penanganan wisatawan yang
didesain untuk wilayah atau daerah yang masih alami yang dijadikan sebagai
destinasi ekowisata;
6.
mengutamakan
kepentingan untuk studi yang berkaitan dengan sosial-budaya dan lingkungan,
begitu juga pemantauan jangka panjang terhadap obyek ekowisata untuk mengkaji
dan mengevaluasi kegiatannya serta meminimalisasi dampak-dampak negatif;
7.
memaksimalkan
keuntungan ekonomi untuk negara yang bersangkutan, bisnis dan masyarakat lokal,
khususnya masyarakat yang tinggal berdekatan dengan destinasi ekowisata;
8.
menjamin
bahwa pembangunan ekowisata tidak mengakibatkan perubahan lingkungan dan
sosial-budaya yang berlebihan sebagaimana ditentukan oleh para ahli dan
peneliti;
9. membangun infrastruktur yang harus ramah
lingkungan dan menyatu dengan budaya masyarakat setempat, tidak menggunakan
bahan bakar yang terbuat dari fosil, dan tidak menggangu ekosistem flora dan fauna.
WTO (2002) dalam Sudiarta
(2006), memberikan batasan mengenai pengembangan obyek dan daya tarik ekowisata
sebagai berikut :
1. semua jenis pariwisata yang berbasiskan alam yang
mana tujuan utama dari wisatawan adalah untuk mengamati dan memberikan apresiasi
terhadap alam, tradisi, dan budaya yang ada di kawasan tersebut;
2. mengandung unsur pendidikan dan enterpretasi;
3. dikelola oleh pelaku pariwisata lokal dan pangsa
pasarnya adalah kelompok-kelompok kecil;
4. meminimalisasi dampak negatif terhadap lingkungan
alam dan kehidupan sosial budaya;
5. membantu pelestarian atau konservasi alam;
6. memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat
lokal, organisasi terkait, dan pihak berwenang;
7. memberikan lapangan pekerjaan dan pendapatan
alternatif kepada masyarakat lokal;
8. meningkatkan kesadaran terhadap pelestarian
aset-aset alam dan budaya bagi para wisatwan dan masyarakat lokal.
2.2 Hutan Mangrove
Hutan
mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh
beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah
pasang-surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini umumnya tumbuh pada
daerah intertidal dan supratidal yang cukup mendapat aliran air dan terlindung
dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Ekosistem mangrove banyak
ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta, dan daerah
pantai yang terlindung (Bengen, 2001 dalam
Muahaerin, 2008).
Santoso (2006) dalam Muahaerin (2008), menyatakan bahwa ruang lingkup mangrove
secara keseluruhan meliputi ekosistem mangrove yang terdiri atas:
1. satu atau lebih spesies pohon dan semak
belukar yang hidupnya terbatas di habitat mangrove (exclusive mangrove).
2. spesies tumbuhan yang hidupnya di habitat
mangrove, namun juga dapat hidup di habitat non-mangrove (non-exclusive
mangrove).
3. biota yang berasosiasi dengan mangrove
(biota darat dan laut, lumut kerak, cendawan, ganggang, bakteri dan lain-lain)
baik yang hidupnya menetap, sementara, sekali-sekali, biasa ditemukan,
kebetulan maupun khusus hidup di habitat mangrove.
4. proses-proses dalam mempertahankan
ekosistem ini, baik yang berada di daerah bervegetasi maupun di luarnya.
5. daratan terbuka atau hamparan lumpur yang
berada antara batas hutan sebenarnya dengan laut.
6.
masyarakat
yang hidupnya bertempat tinggal dan tergantung pada mangrove.
Menurut Wibisono (2005) dalam Muahaerin
(2008), secara ekologis ekosistem mangrove mempunyai
beberapa fungsi penting bagi wilayah pesisir, di antaranya:
1.
sebagai tempat peralihan dan penghubung antara lingkungan darat
dan lingkungan laut.
2.
sebagai penahan erosi pantai karena hempasan ombak dan angin
serta sebagai pembentuk daratan baru.
3. merupakan tempat ideal untuk
berpijah (spawning ground) dari berbagai jenis larva udang dan ikan.
4. sebagai cadangan sumber alam
(bahan mentah) untuk dapat diolah menjadi komoditi perdagangan yang bisa
menambah kesejahteraan penduduk setempat.
Manfaat sosial ekonomis ekosistem mangrove bagi masyarakat
sekitarnya adalah sebagai sumber mata pencaharian dan produksi berbagai jenis
hasil hutan dan turunannya, antara lain kayu bakar, arang, bahan bangunan,
obat-obatan, minuman, peralatan rumah tangga, bahan baku tekstil dan kulit,
madu, lilin, dan tempat rekreasi (Hamilton dan Snedaker, 1994; Dahuri, 1996 dalam Muahaerin,
2008).
Data sementara tingkat kerusakan hutan
mangrove pada 15 provinsi di Indonesia menunjukan bahwa: luas hutan mangrove
yang tidak rusak (2.432.418 ha) yang terdapat pada kawasan hutan (2.268.033 ha)
dan yang berada diluar kawasan hutan (623.136 ha). Sedangkan luas hutan
mangrove yang rusak (5.901.975 ha) yang terdapat dalam kawasan hutan (1.712.462
ha) dan yang berada di luar kawasan hutan (4.189.512 ha) (Ditjen RLPS
Dephutbun, 1999; Santoso, 2006 dalam Muahaerin,
2008).
2.3 Ekowisata Hutan Mangrove
Letak Indonesia yang berada di daerah
tropis sangat kaya dengan beranekaragam flora, fauna, dan biodiversitas
lainnya. Kekayaan alam yang berlimpah ini dapat dijadikan sebagai obyek dan
daya tarik wisata khususnya ekowisata. Menurut Sudarto (1999) dalam Sudiarta (2006), secara umum
kekayaan alam yang dapat dijadikan obyek dan daya tarik ekowisata adalah hutan
hujan tropis, hutan mangrove, hutan sagu, pegunungan es, dan fauna
langka seperti gajah, komodo, orang utan, harimau, badak, burung cendrawasih,
jalak putih, dan lain-lain (Sudiarta, 2006).
Ekowisata yang merupakan salah satu
usaha yang memprioritaskan berbagai produk-produk pariwisata berdasarkan
sumberdaya alam, pengelolaan ekowisata untuk meminimalkan dampak terhadap
lingkungan hidup, pendidikan yang berasaskan lingkungan hidup, sumbangan kepada
upaya konservasi dan meningkatkan kesejahteraan untuk masyarakat lokal (World
Tourism Organization, 2002 dalam Fahriansyah
dan Yoswaty, 2012). Wisata ekologis merupakan suatu bentuk pemanfaatan
sumberdaya alam yang mengandalkan jasa alam untuk kepuasan manusia (Yulianda,
2007 dalam Fahriansyah dan Yoswaty,
2012). Ekowisata pesisir dan laut tidak hanya menjual tujuan atau objek, tetapi
juga menjual filosofi dan rasa sehingga tidak akan mengenal kejenuhan pasar
pariwisata (Tuwo, 2011 dalam Fahriansyah
dan Yoswaty, 2012). Pembangunan ekowisata berkelanjutan bertujuan untuk
menyediakan kualitas pengalaman wisatawan dan meningkatkan kualitas hidup
masyarakat lokal (Fennell, 2008 dalam Fahriansyah
dan Yoswaty, 2012).
Pada
tahun 1992 dibentuk Pusat Informasi Mangrove (Mangrove Information Center).
Mangrove Information Center (MIC) merupakan proyek kerjasama antara Pemerintah
Indonesia melalui Proyek Pengembangan Pengelolaan Hutan Mangrove Lestari dan
Pemerintah Jepang melalui Lembaga Kerjasama Internasional Pemerintah Jepang
melalui Japan International Corporation
Agency (JICA) (Sudiarta, 2006)..
Proyek
ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengekplorasi teknik-teknik reboisasi
yang bisa dilakukan untuk pemulihan (recovery) kondisi hutan mangrove
yang sudah mengalami kerusakan. Teknik yang ditemukan adalah tentang bagaimana
cara persemaian bibit dan penanaman mangrove. Tingginya biaya operasional
proyek yang dilaksanakan di Mangrove
Information Center (MIC) mengakibatkan terjadinya kekhawatiran terhadap
kurangnya dana proyek dan pemeliharaan dan pelatihan hutan mangrove di Kawasan
Taman Hutan Raya Ngurah Rai khususnya di Kawasan Mangrove Information Center (MIC) melahirkan ide dan terobosan baru
yang diharapkan bisa membantu menutupi kekurangan dana tersebut. Ide cemerlang
tersebut selanjutnya diimplementasikan dengan pengembangan obyek ekowisata di
Kawasan Mangrove Information Center
(MIC) (Sudiarta, 2006).
Mangrove
Information Center (MIC) memiliki berbagai potensi
untuk mengembangkan obyek ekowisata antara lain sumber daya manusia yang handal
dan berkompetensi dalam bidang botani yang mampu menginterpretasikan alam
dengan pengunjung, sumber daya alam flora dan fauna yang indah dan menarik, dan
infrastuktur yang memadai untuk mengembangkan obyek ekowisata (Sudiarta, 2006).
BAB
III
PEMBAHASAN
3.1 Studi Potensi Hutan
Mangrove sebagai Ekowisata
Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di muara sungai, daerah pasang
surut atau tepi laut. Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan gabungan
dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut. Umumnya mangrove
mempunyai sistem perakaran yang menonjol yang disebut akar nafas (pneumatofor).
Sistem perakaran ini merupakan suatu cara adaptasi terhadap keadaan tanah yang
miskin oksigen atau bahkan anaerob. Dalam dua dekade ini keberadaan ekosistem
mangrove mengalami penurunan kualitas secara drastis. Saat ini mangrove yang
tersisa hanyalah berupa komunitas-komunitas mangrove yang ada di sekitar
muara-muara sungai dengan ketebalan 10-100 meter, didominasi oleh Avicennia
Marina, Rhizophora Mucronata, Sonneratia Caseolaris yang semuanya memiliki
manfaat sendiri. Misalkan pohon Avicennia memiliki kemampuan dalam
mengakumulasi (menyerap dan menyimpan dalam organ daun, akar, dan batang) logam
berat pencemar sehingga keberadaan mangrove dapat berperan untuk menyaring dan
mereduksi tingkat pencemaran diperairan laut, dan manfaat ekonomis seperti
hasil kayu serta bermanfaat sebagai pelindung bagi lingkungan ekosistem daratan
dan lautan (Wijayanti, 2007).
Mangrove merupakan karakteristik dari
bentuk tanaman pantai, estuari atau muara sungai, dan delta di tempat yang
terlindung daerah tropis dan sub tropis. Dengan demikian maka mangrove
merupakan ekosistem yang terdapat di antara daratan dan lautan dan pada kondisi
yang sesuai mangrove akan membentuk hutan yang ekstensif dan produktif. Karena
hidupnya di dekat pantai, mangrove sering juga dinamakan hutan pantai, hutan
pasang surut, hutan payau, atau hutan bakau. Istilah bakau itu sendiri dalam
bahasa Indonesia merupakan nama dari salah satu spesies penyusun hutan mangrove
yaitu Rhizophora sp.
sehingga dalam percaturan bidang keilmuan untuk tidak membuat bias antara bakau
dan mangrove maka hutan mangrove sudah ditetapkan merupakan istilah baku untuk
menyebutkan hutan yang memiliki karakteristik hidup di daerah pantai.
Mangrove adalah individu jenis tumbuhan
maupun komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut. Hutan mangrove
sering disebut hutan bakau atau hutan payau. Dinamakan hutan bakau karena
sebagian besar vegetasinya didominasi oleh jenis bakau, dan disebut hutan payau
karena hutannya tumbuh di atas tanah yang selalu tergenang oleh air payau. Arti
mangrove dalam ekologi tumbuhan digunakan untuk semak dan pohon yang tumbuh di
daerah intertidal dan subtidal dangkal di rawa pasang tropika dan subtropika.
Tumbuhan ini selalu hijau dan terdiri dari bermacam-macam campuran apa yang
mempunyai nilai ekonomis baik untuk kepentingan rumah tangga (rumah, perabot)
dan industri (pakan ternak, kertas, arang).
Kusmana et al. (2003) menyatakan
bahwa ekosistem hutan mangrove yaitu suatu sistem yang terdiri atas berbagai
organisme (seperti tumbuhan dan hewan), berinteraksi dengan faktor lingkungan
dan dengan sesamanya dalam habitat mangrove. Sumberdaya ekosistem mangrove
mempunyai beberapa peranan, baik secara fisik, kimia maupun biologi, sangat
menunjang untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia dan sebagai penyangga
keseimbangan ekosistem di wilayah pesisir. Ekosistem mangrove berperan sebagai
pelindung dan penahan pantai, penghasil bahan organik, habitat fauna mangrove,
pengolah bahan-bahan limbah hasil pencemaran industri dan kapal-kapal di
lautan, sumber bahan baku industri dan obat-obatan, kawasan pariwisata,
pendidikan, penelitian dan konservasi (Saparinto, 2007). Kegiatan ekowisata
secara langsung memberi akses kepada semua orang untuk melihat, mengetahui, dan
menikmati pengalaman alam, intelektual dan budaya masyarakat lokal (Khan,
2003).
Luas hutan mangrove di
Indonesia pada tahun 1999 mencapai 8,60 juta hektar dan yang telah mengalami
kerusakan sekitar 5,30 juta hektar. Kerusakan tersebut antara lain disebabkan
oleh konversi mangrove menjadi kawasan pertambakan, pemukiman, dan industri, padahal
mangrove berfungsi sangat strategis dalam menciptakan ekosistem pantai yang
layak untuk kehidupan organisme akuatik. Keseimbangan ekologi lingkungan
perairan pantai akan tetap terjaga apabila keberadaan mangrove dipertahankan
karena mangrove dapat berfungsi sebagai biofilter, agen pengikat dan perangkap
polusi. Mangrove juga merupakan tempat hidup berbagai jenis gastropoda,
kepiting pemakan detritus, dan bivalvia pemakan plankton sehingga akan
memperkuat fungsi mangrove sebagai biofilter alami (Mulyadi dkk., 2010).
Perubahan tata guna lahan
dan pemanfaatan sumber daya alam secara berlebihan diakibatkan karena
pertambahan penduduk yang semakin cepat dan luas kawasan yang terbangun. Hutan
mangrove di beberapa kawasan, salah satunya Sungai Wain Balikpapan dengan cepat
menjadi semakin menipis dan berakibat pada menurunnya kualitas lingkungan
kawasan tersebut (Mulyadi dkk., 2010).
Permasalahan utama adalah
pengaruh dan tekanan habitat mangrove bersumber dari keinginan manusia untuk
mengonversi areal hutan mangrove menjadi areal pengembangan perumahan, industri
dan perdagangan, kegiatan-kegiatan komersial maupun pergudangan. Dalam situasi
seperti ini habitat dasar dan fungsinya menjadi hilang dan kehilangan ini
disertai dengan hilangnya ruang terbuka hijau yang jauh lebih besar dari nilai
penggantinya (Mulyadi dkk., 2010).
Mengingat beberapa fungsi dan manfaat penting kawasan mangrove, perlu
diterapkan atau digalakKan prinsip save it (lindungi), study it (pelajari), dan use it (manfaatkan). Semua itu tentu memerlukan
koordinasi antara stakeholders dan masyarakat di sekitar kawasan
tersebut maupun para pencita lingkungan, terutama kalangan akademisi. Untuk
itu, diperlukan faktor-faktor pendukung agar pemanfaatan kawasan mangrove
berjalan sesuai dengan tujuan pengelolaan mangrove yang lestari yaitu
teknologi, diversifikasi pemanfaatan upaya sustainable, dan pengelolaan terpadu (Anonim,
2014).
Mangrove dapat dijadikan area pariwisata apabila (Drumm, 2002):
1. memberikan nilai ekonomi dalam kegiatan
ekosistem di dalam lingkungan yang dijadikan sebagai obyek wisata;
2. menghasilkan keuntungan secara langsung
untuk pelestarian lingkungan;
3. memberikan keuntungan secara langsung dan
tidak langsung bagi para stakeholders;
4. membangun
konstituensi untuk konservasi secara lokal, nasional dan internasional;
5. mempromosikan penggunaan sumber daya alam
yang berkelanjutan;
6. mengurangi ancaman terhadap kenekaragaman
hayati yang ada di obyek wisata tersebut.
Mangrove sangat
berpotensi sebagai tempat berpariwisata di pinggir pantai. Mangrove
dapat dijadikan sarana edukatif dan sarana pariwisata melalui fungsinya selain
menahan ombak namun juga dapat menjadi habitat para hewan perairan. Mangrove
berpotensi menjadi sarana ekowisata dimana pada wisata ini bertujuan untuk
melestarikan mangrove itu sendiri yang berupa konservasi lingkungan juga
terdapat manfaat secara ekonomi. Salah satu pemanfaatan mangrove sebagai sarana
pariwisata:
1.
Sumber informasi yang dimaksud adalah
informasi mengenai hutan mangrove, bagaimana membudidayakan hutan mangrove,
cara penyemaian mangrove agar anak-anak maupun masyarakat luar dapat
berinteraksi langsung bagaimana cara pembibitan dan bagaimana perawatannya,
manfaat-manfaat apa saja yang dapat didapatkan dari mangrove
2.
Dapat dibangun berupa kolam sentuh yang berada
di pohon mangrove yang dapat didesain sesuai areanya agar masyarakat pengunjung
dapat mengetahui habitat asli fauna yang menempati mangrove
3. Dapat melihat
burung-burung pantai yang singgah di mangrove karena burung-burung pantai akan
berbeda dengan burung-burung darat. Burung-burungnya
merupakan burung lepas dan memiliki karakteristik burung laut yang alami yang
memiliki keterikatan dengan ekologi hutan mangrove. Artinya, walaupun
burung-burung tersebut tidak dikurung namun burung-burung tersebut akan terus
berada di dalam hutan mangrove.
4.
Sebagai sarana memancing karena terdapat
berbagai macam ikan, kepiting dan hewan air lainnya.
Pembangunan
ekowisata di kawasan hutan mangrove dapat dikaji dari aspek ekologi hutan
mangrove. Hal ini disebabkan hutan mangrove merupakan objek yang utama dalam
kegiatan ekowisata. Yulianda (2007) menyatakan bahwa beberapa kriteria
penilaian dapat dijadikan pedoman dalam ekowisata seperti ketebalan dan
kerapatan pohon, jenis flora atau fauna mangrove dan kisaran pasang surut.
Pembangunan ekowisata
berperanan untuk konservasi sumberdaya alam (hutan mangrove) dan membantu
masyarakat lokal dalam memenuhi kesejahteraan hidup. Pembangunan ekowisata
memberikan perubahan terhadap kualitas hidup, struktur sosio-ekonomi, dan
organisasi sosial dalam masyarakat lokal.
3.2 Ekowisata
Hutan Mangrove yang Ada di Karangsong Indramayu
A. PENGUMPULAN DATA SEKUNDER
(1). Aspek Ekologi
a. Flora
dan Fauna
ü data fauna meliputi jenis jenis burung,
mamalia, reptile, ikan, amphibi, serangga, dan invertebrate serta data habitat
fauna
-
Keanekaragaman hayati (Burung)
NO
|
NAMA
|
LATIN
|
KATEGORI
|
1.
|
Kuntul Besar
|
Egretta alba
|
Umum Terdapat
|
2.
|
Kowak malam Kelabu
|
Nycticorax nycticorax
|
Umum Terdapat
|
3.
|
Blekok Sawah
|
Ardeola speciosa
|
Kadang dijumpai
|
4.
|
Kuntul Karang
|
Egretta sacra
|
Kadang dijumpai
|
5.
|
Cangak Merah
|
Ardea purpurea
|
Kadang dijumpai
|
6.
|
Dara laut sayap hitam
|
Sterna fuscata
|
Kadang dijumpai
|
7.
|
Raja Udang kalung biru
|
Alcedo euryzona
|
Kritis
|
-
Keanekaragaman hayati Vegetasi
NO
|
NAMA
|
LATIN
|
FAMILI
|
HABITAT
|
1.
|
Bakau Hitam
|
Rhizophora mucronata Lam.
|
Rhizophoraceae
|
Mangrove
|
2.
|
Bakau kecil
|
Rhizophora stylosa Griff.
|
Rhizophoraceae
|
Mangrove
|
3.
|
Bakau Minyak
|
Rhizophora apiculata BI
|
Rhizophoraceae
|
Mangrove
|
4.
|
Api-api
|
Avicennia marina (Forsssk) Vierh.
|
Achantaceae
|
Mangrove
|
5.
|
Api-api
|
Avicennia alba Blume.
|
Achantaceae
|
Mangrove
|
6.
|
Pidada
|
Sonneratia caseolaris (L) Engl
|
Lythraceae
|
Mangrove
|
7.
|
Ketapang
|
Terminalia cattapa L.
|
Combretaceae
|
Pantai
|
8.
|
Cemara Laut
|
Casuarina equietifolia L.
|
Casuarinaceae
|
Pantai
|
9.
|
Bidara
|
Ziziphus mauritiana Lam.
|
Rhamnaceae
|
Pantai
|
-
Keanekaragaman Hayati biota air
NO
|
NAMA
|
LATIN
|
KATEGORI
|
1.
|
Ikan Belanak
|
Valamugil speigleri
|
Melimpah
|
2.
|
Ikan Gelodok
|
Periophthalmus modestus
|
Melimpah
|
3.
|
Biawak
|
Varanus salvator
|
Jarang
|
4.
|
Belut
|
Mnopterus albus
|
Umum Terdapat
|
5.
|
Ikan Keling
|
Mystus nigriceps
|
Melimpah
|
ü Tempat pamijahan ikan dan udang
ü tempat transit burung air migran
ü fauna asli setempat (endemic)
ü tempat mencari makan (feeding), tempat
istirahat/tinggal (roosting) dan tempat bersarang (nesting ground) fauna
ü data flora
No
|
Nama
|
Nama latin
|
1.
|
Pidada
|
Sonneratia caseolaris
|
2.
|
Bakau Hitam
|
Rhizophora mucronata Lam.
|
3.
|
Bakau kecil
|
Rhizophora stylosa Griff.
|
4.
|
Bakau Minyak
|
Rhizophora apiculata BI
|
5.
|
Putut/Tumu
|
Bruguiera gymnoryza
|
6.
|
Berus/burus
|
Bruguiera Cyllindrica
|
7.
|
Api-api
|
Avicennia marina (Forsssk) Vierh.
|
8.
|
Api-api
|
Avicennia alba Blume.
|
9.
|
Bidara/Widara
|
Ziziphus mauritiana Lam.
|
10.
|
Teruntum
|
Lumnitzera racemosa
|
11.
|
Cantigi
|
Phemphis acidula
|
12.
|
Bintaro
|
Cerbera manghas
|
13.
|
Waru Laut
|
Thespesia populnea
|
14.
|
Ketapang
|
Terminalia cattapa L.
|
15.
|
Ketapang Kencana
|
Terminalia mantaly
|
16.
|
Kerandang/katang-katang
|
Pueraria phasealoides
|
17.
|
Kawista
|
Limonia acidissima
|
18.
|
Gayam
|
Inocarpus fagifer
|
19.
|
Kelapa
|
Cocos nucifera
|
20.
|
Dungun/Mengkulang
|
Heritiera
|
21.
|
Cemara Laut
|
Casuarina equietifolia L.
|
22.
|
Kedondong Lanang
|
Spondias dulcis
|
23.
|
Tapak Kuda
|
Ipomea pos-caprae
|
b. Ekosistem
ü ekosistem lahan basah
Luas ekowisata mangrove adalah 20 Ha dengan panjang track 1,4 Km
ü Iklim, tanah, habitat, hidro-oseanografi
-
Iklim nya :
tropis,
-
habitat : flora
dan fauna
-
Hidro oseanografi.: Air payau didalam ekowisata
mangrove, arus laut dengan arus tenang
pasang dan surut
ü Sumber plasma nutfah
Didalam Arboretum Mangrove terdapat 1023 bibit yang terdiri 23 jenis
flora yang dikembangbiakan oleh kelompok petani
ü Tempat pengendapan lumpur, penambat
racun/pencemar bahan kimia
Akar dari pohon mangrove dapat mengendapkan lumpur serta dapat menambat
racun/pencemar bahan kimia
ü Data spasial:
Ekowisata Mangrove Karangsong terletak di
Desa Karangsong Kecamatan Indramayu Kabupaten Indramayu Kode Pos 45219, pada
Garis Lintang: 6.3025485 , dan Garis Bujur : 108.3360472
ü Buffer zone / tempat perlindungan terhadap
bencana alam
Ada beberapa tempat Buffer Zone/tempat
perlindungan terhadap bencana alam di ekowisata Mangrove ini
ü Perlindungan ekosistem daerah aliran sungai
(DAS)
Ekowisata Mangrove Karangsong terletak di
Daerah Aliran Sungai
Desa/Kec : Karangsong/Indramayu
Kab/Sub DAS : Indramayu/Cimanuk
Prov : Jabar/Cimanuk-Citanduy
ü Catatan pengetahuan ekologi untuk kasus
sungai
Dari hasil pengamatan bahwa biota air, keanekaragaman
hayati burung dan keanekaragaman hayati vegetasi terlihat lebih banyak dari
sebelum adanya Ekowisata Mangrove
Karangsong
(2). Aspek Sosial
a.
Budaya masyarakat dalam penggunaan lahan
Ratusan hektar hutan mangrove rusak oleh
factor alam seperti abrasi, sedimientasi sungai dan banjir dan juga faktor manusia seperti penebangan
kayu mangrove dan pembukaan lahan pertambakan. Sudah ada kesadaran dari masyarakat
tentang pentingnya kawasan mangrove di lingkungan mereka yang melindungi dari
abrasi laut.
b.
Peran dan keterkaitan antar lembaga
Sejak 2010 melalui program Coorporate
Social Responbility (CSR) Pertamina hijau dengan kelompok petani telah menanm
lebih dari 15.000 pohon mangrove, serta Ekowisata Karangsong telah dinaungi
dibawah Balai Pengelolaan Hutan Mangrove I Dirjen Pengelolaan DAS Perhutanan
Sosial Kementerian Kehutanan
c.
Peran pranata sosial dalam pemanfaatan lahan
Masyarakat membuat pranata social bahwa
hanya orang yang mendapat Surat Izin menggarap yang dapat memanfaatkan lahan sekitar
30 % dari nelayan Karangsong
d.
Peran pihak yang berperan dalam konflik (pemerintah
pusat, pemerintah daerah, masyarakat, pemodal, spekulan, perguruan tinggi,
dlsb)
Pemerintah Pusat : Balai Pengelolaan Hutan
Mangrove I Dirjen Pengelolaan DAS Perhutanan Sosial Kementerian Kehutanan
Pemerintah Daerah : Pemerintah Kabupaten
Indramayu
Perusahaan : PT
Pertamina Refinery Unit (RU) VI Balongan dengan dana CSR 200 juta sebulan
e.
Data dan informasi mencakup kependudukan, pendidikan,
kesehatan, keagamaan, kelembagaan masyarakat dan sebagainya
-
Kependudukan
Batas desa Karangsong adalah sebagai berikut :
-
Sebelah utara : Desa Pabean Udik
-
Sebelah Selatan : Desa Tambak
-
Sebelah Timur : Laut Jawa
-
Sebelah Barat : Kelurahan Paoman
Desa ini memilki panjang garis pantai 0.9
Km, bersuhu 29 – 310C, berada di ketinggian 0,5 – 1 meter dpl,
dengan luas desa 391,45 hektar, dan jumlah penduduk di tahun 2009 menurut
Disdukcapil Indramayu Desa ini 4.510 jiwa, dengan komposisi 2.261 laki-laki dan
perempuan 2.249 Jiwa.
-
Pendidikan
Adapun tingkat pendidikan masyarakat desa
Karangsong sebagai berikut
a. Usia 7 - 45 th tidak pernah sekolah : 176
orang
b. Pernah sekolah SD/sederajat :
1099 orang
c. Tamat SD/Sederajat : 315
orang
d. Tamat SLTP/Sederajat : 306
orang
e. Tamat SMA/Sederajat : 256
orang
f. D1 :
9 orang
g. D2 :
6 orang
h. D3 : 8 orang
i. S1 :
5 orang
j. S2 : 2 orang
k. S3 : 1 orang
-
Keagamaan
Jumlah Penduduk menurut Agama sebagai
berikut :
a. Islam : 5709 orang
b. Protestan : 8 orang
c. Katolik :
21 orang
d. Hindu :
7 orang
e. Budha : 4 orang
(3). Aspek Ekonomi
a.
Pengembangan fungsi ekologi untuk aspek ekonomi
Menurut Bapak Eka Tarika pengurus kelompok Pantai Lestari karangsong,
mengatakan kunjungan wisatawan ke daerah sini pada tahun 2015 mencapai 74 ribu
orang dan 2016 menjadi 84 ribu wisatawan
b.
Pengembangan pemanfaatan rosot carbon
Didalam Ekowisata mangrove Karangsong 100 % biomassa yang terdapat didalam
berbentuk pokok kayu, dahan, daun, akar dan sampah pohon (serasah), hewan dan
jasad renik yang biomassa tersebut sebagai tempat simpanan karbon (carbon Sink)
c. Pengembangan ekowisata untuk pengamatan
burung dan pendidikan dan pelatihan
Ekowisata Mangrove memang menjadi tempat persinggahan beberapa burung
seperti kuntul, blekok, kowak malam kelabu, kuntul karang, cangak merah, dan
dara laut sayap hitam sehingga cocok bagi pendidikan dan pelatihan tentang
burung.
d. Pengembangan pemanfaatan untuk pendidikan
dan penelitian ekosistem rawa air tawar
Di dalam Ekosistem rawa air tawar kita akan jumpai hewan-hewan amfibi,
reptile, belalang, serta tumbuhan seperti halnya eceng gondok, semua itu bisa digunakan untuk sarana
pendidikan dan penelitian
e. Pemanfaatan ekosistem air bersih dalam
kerangka perlindungan daerah aliran sungai (DAS)
Ekosistem air bersih bisa imanfaatkan sebagai lahan
pendederan/pembenihan ikan maupun udang serta juga bisa dimanfaatkan sebgai
pertambakan dengan tanpa merusak ekosistem yang telah ada sehingga melindungi
daerah aliran sungai (DAS)
B. PENGAMATAN LAPANG EKOSISTEM PANTAI
KARANGSONG MELIPUTI POTENSI DAN DAYA TARIK LOKASI
1. WAWANCARA DENGAN PENGUNJUNG DAN PENGELOLA
Data dari makalah ini diperoleh dari Bapak Ketua Kelompok Peduli
Mangrove Eka Taringan
2. LAKUKAN ANALISIS POTENSI DAN DAYA TARIK
TERHADAP:
I.
Nilai rekreasi meliputi :
a. Keindahan alam
b. Keanekaragaman jenis flora dan fauna
c. Keunikannya
d. Keutuhan potensi hutan
e. Kejernihan air (jika ada)
f. Variansi kegiatan
g. Kenyamanan
h. Keamanan
II. Nilai Ekonomi
a. Dari potensi pengunjung
b. Dari jasa lingkungan
III.
Nilai Konservasi
IV. Keterlibatan masyarakat
V. Penelitian dan pendidikan lingkungan
TABEL 1
NO
|
YANG DINILAI
|
ANALISIS PENGEMBANGAN
|
KET
|
|||||||
KUALITAS
|
AKSESIBILITAS
|
AMENITAS
|
KELEMBAGAAN
|
|||||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
||||||
I. Nilai Rekreasi
|
||||||||||
a. Keindahan
Alam
|
√
|
|||||||||
b. Keanekaragaman
jenis flora dan fauna
|
√
|
|||||||||
c. Keunikannya
|
√
|
|||||||||
d. Keutuhan
potensi hutan
|
√
|
|||||||||
e. Kejernihan
air (jika ada)
|
√
|
|||||||||
f.
Variansi Kegiatan
|
√
|
|||||||||
g. Kenyamanan
|
√
|
|||||||||
h. Keamanan
|
√
|
|||||||||
II. Nilai
Ekonomi
|
||||||||||
a. Dari
potensi pengunjung
|
√
|
|||||||||
b. Dari jasa
lingkungan
|
√
|
|||||||||
III. Nilai
Konservasi
|
√
|
|||||||||
IV.
Keterlibatan Masyarakat
|
√
|
|||||||||
V. Penelitian
dan Pendidikan Lingkungan
|
√
|
Keterangan : (1). Keaslian, (2). Keunikan, (3). Keindahan, (4).
Keutuhan, (5). Ketersediaan lahan pengembangan
No
|
Rincian Potensi
|
Rincian Penilaian
|
||||
Skor 1
|
Skor 2
|
Skor 3
|
Skor 4
|
Skor 5
|
||
I. Nilai Rekreasi
|
||||||
a. Keindahan
Alam
|
Kondisi masih asli 40 %
|
|||||
b. Keanekaragaman
jenis flora dan fauna
|
Keaneka ragaman mencapai 60%
|
|||||
c. Keunikannya
|
Obyek hanya ada pada lokasi tersebut
|
|||||
d. Keutuhan
potensi hutan
|
Keutuhan mencapai 80 %
|
|||||
e. Kejernihan
air (jika ada)
|
Kejernihan masih 20 %
|
|||||
f.
Variansi Kegiatan
|
Kegiatan mencapai 100 %
|
|||||
g. Kenyamanan
|
100 % Nyaman
|
|||||
h. Keamanan
|
100Aman
|
|||||
II. Nilai Ekonomi
|
||||||
a. Dari
potensi pengunjung
|
100 % berpotensi ekonomi
|
|||||
b. Dari jasa
lingkungan
|
||||||
III. Nilai
Konservasi
|
80 % Bernilai
konversi
|
|||||
IV.Keterlibatan
Masyarakat
|
80 % masyarakat terlibat
|
|||||
V. Penelitian
dan Pendidikan Lingkungan
|
100 % bisa dibuat penelitian dan pendidikan
lingkungan
|
3. SUSUN STRATEGI DAN KEBIJAKAN SEBAGAI
BERIKUT:
a. Susun Kekuatan dan kelemahannya yang
terjadi pada lokasi
-
Kekuatan
1. Ekowisata Mangrove Karangsong sebagai
Ekowisata mangrove buatan yang berhasil sehingga menarik Wisatawan dan Peneliti
Mangrove
2. Adanya dukungan dari CSR Pertamina dan
Pemerintah baik daerah dan Pemerintah Pusat melalui Dinas Kehutanan
-
Kelemahan
1. Ekowisata Mangrove ini rawan Abrasi jika
daya dukungnya lingkungan dirusak
2. Kurangnya rasa memilki bersama dari
masyarakat sekitar
b. Susun ancaman peluang yang ada pada lokasi
-
Lemahnya peran serta masyarakat disekitar kawasan
-
Masih kurangnya keanekaragaman vegetasi flora
-
Terlalu banyaknya wisatawan membuat lingkungan menjadi
kotor
-
Luas wisata yang tak bisa diperluas lagi
c. Buat strategi dan kebijakannya
-
Pengembangan keanekaragaman hayati vegetasi sehingga
lebih menambah kedaya pikatan bagi peneliti
-
Pengembangan wisata pengamatan terhadap fauna seperti
pengamatan kupu-kupu dan pengamatan burung
-
Peningkatan kualitas SDM dibidang pariwisata dan
optimalisasi pelaksanaan tugas pembinaaan kepariwisataan terhadap masyarakat
melalui kerjasama dengan instansi terkait
-
Pengembanagan kesadaran wisatawan dan masyarakat
sekitarnya tentang mebuang sampah ditempatnya
BAB
IV
KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan yang
telah diuraikan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa:
1.
Hutan mangrove dapat dijadikan ekowisata apabila
memenuhi beberapa syarat, kriteria
penilaian dapat dijadikan pedoman dalam ekowisata seperti ketebalan dan
kerapatan pohon, jenis flora atau fauna mangrove, dan kisaran pasang surut. Selain itu juga
harus memberik nilai ekonomi dalam kegiatan ekosistem di
lingkungan obyek wisata; menghasilkan
keuntungan secara langsung untuk pelestarian lingkungan dan tidak langsung bagi para stakeholders; membangun
konstituensi untuk konservasi secara lokal, nasional dan internasional; mempromosikan penggunaan
sumber daya alam yang berkelanjutan; dan mengurangi ancaman terhadap kenekaragaman
hayati yang ada di obyek wisata tersebut.
2. Area ekowisata hutan mangrove Karangsong Indramayu yang harus terus
dikembangkan dan dijaga kelestariannya
3. Produk-produk
ekowisata yang ditawarkan oleh hutan mangrove dapat beragam tergantung pada
lokasi dan keadaan hutan mangrove yang akan dijadikan area ekowisata, seperti
wisata perahu, penginapan dan restoran di atas air, jembatan kayu, outbond, penanaman pohon mangrove
langsung pada habitatnya, camping ground,
pemancingan, penjualan suvenis khas mangrove seperti baju batik mangrove, dan
sebagainya. Produk-produk ekowisata hutan mangrove juga harus memiliki nilai
edukasi, konservasi, dan estetika bagi wisatawan.
DAFTAR
PUSTAKA
Alamrogi, Sumarna. 2014. Obyek Wisata Hutan Mangrove di Bali. http://www.indowisata.co.id/2014/12/obyek-wisata-hutan-mangrove-di-bali.html.
Diakses Tanggal 27 Februari 2015 Pukul 09.58
WIB.
Anonim. 2014. Fungsi
dan Manfaat Hutan Mangrove. http://hutan mangrove jakarta.com/2014/02/04/fungsi-dan-manfaat-hutan-mangrove-3/.
Diakses tanggal 25 Februari 2015 Pukul 23.01 WIB.
Drumm, Andy and Alan Moore. 2002. Ecotourism
Development. An Introduction to Ecotourism Planning. The Nature
Conservancy. Arlington, Virginia, USA.
Fahriansyah dan Dessy, Yoswaty. 2012. Pembangunan Ekowisata
di Kecamatan Tanjung Balai Asahan, Sumatera Utara : Faktor Ekologis Hutan
Mangrove. Jurnal Ilmu dan Teknologi
Kelautan Tropis. 4 (2) : 346-359.
Jawa Timuran. 2013. Ekowisata
Mangrove Wonorejo Surabaya. https://jawa timuran1.wordpress.com/2013/12/12/1430/. Diakses Tanggal
27 Februari 2015 Pukul 09.23 WIB.
Jawa Timuran, 2013. Wisata Manrove
Kota Probolinggo. https://jawatimuran 1. wordpress.com/2013/06/16/wisata-mangrove-kota-probolinggo/. Diakses Tanggal
27 Februari 2015 Pukul 09.45 WIB.
Khan, Maryam. 2003. Ecoserv. Howard
University. USA.
Kusmana, C., S. Wilarso, I. Hilwan, P.
Pamoengkas, C. Wibowo, T. Tiryana, A. Triswanto, Yunasfi, dan Hamzah. 2003. Teknik rehabilitasi mangrove. Fakultas
Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Muhaerin, Muri. 2008. Kajian Sumberdaya Ekosistem Mangrove untuk Pengelolaan Ekowisata di
Estuari Perancak, Jembrana, Bali. Skripsi Dep. Manajemen Sumberdaya
Perairan FPIK IPB. Bogor.
Mulyadi, Edi., Okik Hendriyanto, dan Nur
Fitriani. 2010. Konservasi Hutan Mangrove Sebagai Ekowisata. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan. Vol 1.
Panduan Wisata Surabaya. 2015. Wisata Anyar Mangrove Alternatif Wisata
Bahari Alami di Surabaya. http://surabaya.panduanwisata.id/wisata-alam/wisata-anyar-mangrove-alternatif-wisata-bahari-alami-di-surabaya/. Diakses Tanggal 27 Februari 2015 Pukul 09.10 WIB.
Pender, L. and R.
Sharpley. 2005. The Management of Tourism.
SAGE Publications Ltd. London.
Saparinto, C. 2007. Pendayagunaan Ekosistem Mangrove. Dahara Prize. Semarang. 236 hal.
Sudiarta, Made. 2006. Ekowisata Hutan Mangrove
: Wahana Pelestarian Alam dan Pendidikan Lingkungan. Jurnal Manajemen Pariwisata Vol. 5 No 12.
Wijayanti, T. 2007. Konservasi Hutan Mangrove sebagai Wisata Pendidikan. Universitas
Pembangunan Nasional Veteran. Surabaya.
Yulianda, F. 2007.
Ekowisata bahari sebagai alternatif
pemanfaatan sumberdaya pesisir berbasis konservasi. Makalah Sains
Departemen MSP. IPB. Bogor.
Zamroni, Muhammad. 2014. Hutan
Mangrove di Taman Wisata Alam Angke Kapuk.http://matriphe.com/2014/09/15/hutan-mangrove-di-taman-wisata-alam-angke-kapuk. Diakses Tanggal 26 Februari
2015 Pukul 00.02 WIB.
https://karangsong-indramayu.blogspot.com/p/data-umumpotensi-desa-desa-karangsong.html. Diakses Tanggal 05
Juni2017 Pukul 13.00 WIB.